Senin, 29 Desember 2008

Rajutan Cerita Yang Tak Sempurna : Kisah dari Lebah Sempaga

Jum’at 27 Desember 2008 sekitar jam 23.00 WIB pesawat yang aku tumpangi, Lion Air, mendarat sempurna di Bandara Internasional Minangkabau. Penerbangan tadi cukup membuat jantungku dan penumpang lainnya berdetak kencang. Cuaca buruk sekali. Getaran pesawat begitu terasa dan mengguncang-guncang. Sempat terfikir andai pilot kehilangan kendali dan kemudian pesawat jatuh…? Huuh…akhirnya aku menghirup lagi udara Ranah Minang ku ini.

Secara fisik aku sangat lelah setelah dua minggu “berpetualang" di sebahagian belahan Indonesia ku, Indonesia kamu, Indonesia kita semua. Secara intelektual juga aku letih karena sepekan lebih beradu argumentasi dengan teman-teman peserta pelatihan tentang berbagai persoalan HMI dan Bangsa. Masih seputar persoalan klasik; Idiologisasi HMI, Kemiskinan, Kebodohan dan Keterbelakangan yang senatiasa menjadi “penyakit” yang menjangkiti Sang Hijau–Hitam dan Si Merah-Putih.

Kalaupun dalam agenda praksis kami belum mampu berbuat banyak untuk memperbaiki persoalan-persoalan tersebut, tetapi pertemuan yang sangat Indonesia itu setidaknya memberikan ke kami potret buram bangsa yang kian hari lembarannya semakin menumpuk. Saya bilang pertemuan itu sangat Indonesia karena pesertanya berasal dari berbagai daerah yang kultur dan rasnya beragam; ada Ambon, Sumbawa, Kendari, Buton, Lampung, Malang, Mataram, Salatiga, Banten, Mataram, Jakarta, Depok, Ponorogo dan Saya dari Padang.

Mataram, sebelumnya saya mohon dimaafkan karena sempat miris memandang mu. Ternyata engkau begitu indah, karena Lombok tempat kau berdiri sangat eksotis, bagai ceceran serpihan surga yang Tuhan letakkan di sana. Senggigimu menawan hati, Rinjani menjulang tinggi membentengi langit dan keelokan alam mu beserta “isinya” meluluhkan hatiku. Diriku takjub.

Banyak cerita terukir dalam kurun waktu yang singkat itu. Ada kisah lucu menggelitik dan ada pula yang miris memilukan. Ada juga cerita tentang Arif yang terjerat hati dengan Tuti, Si Masyhur yang bicaranya bikin orang menggerutu karena sering asbun (hehe..maaf kawan). Dan, cerita tentang aku yang jatuh cinta pada Lombok dan “Alamnya”.

Pada sesi terakhir kegiatan, kami melakukan studi lapangan ke Desa Lebah Sempaga. Sebuah desa suku Sasak di pedalaman kecamatan Narmada kabupaten Lombok Barat. Dari kota Mataram perjalanan kesana mengahbiskan waktu sekitar 2 jam dengan kendaraan, baik roda dua maupun roda empat. Jalan menuju desa ini sangat sulit, kecil, berlobang, beliku-liku dengan tanjakan tajamnya dan satu lagi, berdebu.

Desa Lebah Sempaga terdiri dari 8 dusun (200 KK) dengan 95% penduduknya bermatapencaharian sebagai petani kebun, terutama melinjo. Pendapatan perkapita hanya Rp.3.750 perhari. Sangat miskin. Jauh lebih miskin dari negara miskin Indonesia yang pendapatan perkapitanya Rp.46.675 perhari. Rata-rata tingkat pendidikan hanya kelas 2 SD, sehingga orang-orang tua disana mayoritas buta aksara. Tapi mereka pintar baca tulis Arab dan Arab Melayu. Jadul banget kan…?

Walau masyarakatnya jauh dari kemewahan, tetapi mereka hidup sangat rukun, damai dan saling menghargai. Perkampungan mereka tertata rapi, meski pekarangan berpagar bambu dan rumah beratap daun ilalang. Sekeliling kampung perbukitan hijau menjulang bak benteng. Suara kicauan burung terdengar nyaring pertanda hutan tempat mereka hidup masih alami. Belum habis dibabat pembalak liar seperti hutan di “kampung sebelah”. Kesejukan alam Lebah Sempaga kian terasa tatkala mendengar dencingan aliran air sungai yang mengalir meliuk-liuk mengikuti liku dan lekukan badan sungai. Desa yang indah.

Kedatangan kami pada Sabtu pagi pukul 10 itu disambut dengan senyum ikhlas penuh keramahan dan keakraban. Anak-anak dengan riang berlarian melihat kami datang. Air wajah mereka memberikan kami gambaran keluguan tentang seribu asa anak desa. Mainan mereka hanyalah kemiskinan dan kebodohan, sehingga tidak kenal dengan Play Station dan Komputer. Sesuatu yang sudah akrab bagi anak-anak di perkotaan. Kampung yang sangat terbelakang bukan ?, lebih tertinggal dari negara tertinggal Indonesia.

Bagi saya, Desa Lebah Sempaga merupakan bukti ketimpangan sosial-ekonomi yang terjadi di negara kita. Ketimpangan yang lahir akibat timpangnya otak penguasa, yang melihat Indonesia itu hanyalah Jakarta.

Kami meninggalkan kampung itu sekitar jam 4 sore. Setelah bersama-sama sejenak berkeliling bercengkrama dengan masyarakat. Berbagi cerita tentang kepedihan hidup, yang mereka sendiri tidak menyadarinya, bahwa kemiskinan dan keterbelakangan yang mereka alami lahir akibat sistem yang tidak adil. Bukan sekedar takdir Tuhan.